INVESTASI THAILAND SEMASA PEMERINTAHAN THAKSIN SHINAWATRA.

Pendahuluan.

Sudah Lama Thailand disegani sebagai kekuatan ekonomi di ASIA, khususnya di ASEAN. Sebagai satu-satunya negara yang tidak pernah dijajah di kawasan itu, Thailand menunjukkan taringnya baik dalam masa sebelum dan setelah krisis ekonomi yang melanda. Dalam masa pra krisis, Thailand unggul dengan kekuatan industrinya yang merajai ASEAN bahkan menyaingi Jepang. Namun dalam masa pasca krisis ekonomi, Thailand berhasil keluar dari krisis berkat pemberdayaan Industri Kecil, pertanian, serta pembenahan Investasi.

Laju pertumbuhan ekonomi Thailand yang sangat mencolok setelah krisis tentu membuat banyak investor jatuh hati untuk menenamkan modalnya di negeri gajah putih ini. Negeri itu mulai berubah sejak Thaksin Shinawatra duduk sebagai Perdana Mentri Thailand pada awal 2001, kebijakan-kebijakan yang diambil cukup membuat dunia berdecak kagum atas kebangkitanThailand. Terlepas dari itu semua, Thaksin juga dianggap melakukan tindakan korupsi, sampai akhirnya pemerintahan diambil alih oleh militer dalam kudeta tanpa pertumpahan darah bulan september 2006 lalu sampai saat ini. Oleh sebab itu saya mencoba membandingkan keadaan investasi di Thailand pada saat Thaksin berhuasa dan pada saat pemerintahan diambil alih oleh militer.

INVESTASI THAILAND SEMASA PEMERINTAHAN THAKSIN SHINAWATRA.

Berikut artikel yang diambil dari Kompas Cyber Media, 2005.

Pada awal pemerintahannya, Februari 2001, kabinet pimpinan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra-koalisi antara Partai Thai Rak Thai (Thais love Thai) dengan Partai Chart Thai dan Partai New Aspiration-banyak dikritik karena dianggap sebagai kepanjangan tangan dari kekuatan politik lama yang korup. Kekuatan politik lama itu adalah gabungan dari kelompok pengusaha besar dan birokrasi pemerintah yang menjalin hubungan dekat dengan militer di bawah pemerintahan diktator militer yang sebelumnya berkuasa.

Thaksin sendiri adalah pengusaha terkaya di Thailand. Ia bergerak di bidang telekomunikasi dan dibesarkan oleh rezim militer yang memerintah sebelumnya melalui pemberian hak monopoli dan perlakuan-perlakuan khusus lain. Ia juga anggota pemerintahan koalisi yang dipimpin Ketua Partai New Aspiration Chavalit Yongchaiyudh yang terguling pada krisis finansial 1997 karena korupsi, kronisme, dan dianggap gagal membuka perekonomian bagi investor asing.

Thaksin bahkan pernah dituduh sengaja tidak melaporkan asetnya secara jujur semasa masih menjabat dalam pemerintahan Chavalit, dan sempat diperiksa oleh komisi antikorupsi nasional. Dalam kabinet Thaksin yang dilantik 18 Februari 2001, giliran Chavalit-pensiunan jenderal dan mantan panglima angkatan bersenjata Thailand-diberi jabatan sebagai menteri pertahanan oleh Thaksin.

Sebagai orang yang diremehkan dan dilecehkan di awal masa pemerintahannya yang pertama, Thaksin ternyata mampu membawa banyak perbaikan pada perekonomian dan bahkan terpilih kembali untuk kedua kalinya pada pemilu Februari lalu. Kini fenomena Thaksinomic (resep kebijakan ekonomi ala Thaksin) membuat penasaran banyak orang, kendati di dalam negeri sejumlah media massa terkemuka menilai pemerintahannya sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di bawah Thaksin, tahun 2005, pasar modal Thailand menjadi best performing stock market di Asia, dengan indeks saham naik 135 persen. Tahun 2004, kedua terbaik setelah Indonesia. Sebelumnya, banyak pihak menduga pertumbuhan ekonomi Thailand akan “mentok” pada 2002, tetapi mereka keliru besar karena pertumbuhan terbukti terus meningkat hingga tahun lalu dengan pertumbuhan rata-rata di atas 8 persen per tahun selama masa pemerintahan Thaksin.

Mengapa negara-negara lain gagal, tetapi Thailand berhasil? Menurut analis Jim Walker dalam kajiannya di CLSA “Out and About” Newsletter, kuncinya adalah karena pemerintahan ini fokus ke kondisi ekonomi domestik melalui kebijakan-kebijakan yang propertumbuhan. Thaksinomic dinilai sukses membawa perekonomian Thailand yang sebelumnya lunglai, tanpa arah, serta tertekan “secara psikologis dan finansial”, menjadi perekonomian paling bergairah di ASEAN.

Kebijakan Thaksin yang “konsentrasi pada hal-hal mendasar” difokuskan pada upaya mendorong permintaan dalam negeri. Bukan melalui proyek-proyek mega atau memperbesar belanja pemerintah, tetapi dengan menyalurkan kredit dan dukungan lain ke sektor pedesaan dan usaha kecil dan menengah yang dianggap sebagai tulang punggung perekonomian.

Hasilnya, konsumsi berhasil menjadi lokomotif perekonomian tiga tahun terakhir dan separuh lebih dari penerimaan pajak diperoleh dari wilayah nonperkotaan. Thaksin sendiri dikenal memiliki visi masa depan Thailand yang sangat tegas. Salah satu ambisinya adalah mewujudkan pasar terintegrasi Indochina yang rencananya juga merangkul Provinsi Yunnan di China dengan Thailand sebagai pusat (hub)-nya.

Pembangunan jalan raya yang menghubungkan Yunnan dengan Laem Chabang di Bangkok melalui Laos sudah dibangun. Thailand juga membangun jalan yang menghubungkan Bangkok dengan Phnom Penh, yang nantinya juga akan terhubung dengan India melalui Myanmar dan Bangladesh. Semua itu akan mendukung pembangunan ekonomi Thailand di masa mendatang.

Thaksin juga membabat birokrasi yang dinilai menjadi penghambat kemajuan ekonomi dan bisnis. Tahun ini saja, pemerintahan Thaksin menganggarkan sedikitnya 10 miliar baht untuk membiayai program reformasi birokrasi, dengan mengurangi 5 persen dari jumlah pegawai negeri yang sekarang ini mencapai 1,7 juta orang.

Deputi Dirjen Pengawas Keuangan Supa Piyajitti mengatakan, langkah itu bagian dari upaya pemerintah meningkatkan efisiensi di jajaran pegawai negeri. Berdasarkan program ini akan dilakukan evaluasi terhadap kinerja tiap pegawai negeri setiap enam bulan.

Sebanyak lima persen pegawai dengan kinerja terburuk akan diberi dua pilihan, pensiun atau menjalani program pelatihan. Mereka yang memilih pensiun, mendapat kompensasi setara delapan bulan gaji, di luar komponen pesangon normal lainnya. Sementara pegawai yang memilih ikut pelatihan, akan terus dievaluasi. Mereka yang tidak beranjak dari skor terburuk setelah pelatihan langsung dipecat tanpa kompensasi.

Periode penilaian pertama akan dilakukan September 2005. Namun, proses penilaian sendiri sebenarnya sudah dimulai bulan lalu. Proses ini memang membuat gerah dan stres kalangan pegawai negeri. Namun, pada saat yang sama akan memacu pegawai yang selama ini seenaknya untuk memperbaiki kinerjanya agar tidak dipecat. Sistem penilaian itu sendiri memberikan kesempatan kepada pegawai untuk banding jika mereka merasa dinilai secara tidak adil.

Thaksin yang mantan Chief Executive Officer (CEO) Shin Corp ini juga membawa gaya kepemimpinannya di perusahaannya ke pemerintahan, hingga ke kementerian-kementerian dan birokrasi, termasuk pemerintahan daerah. Tentu saja tidak semua eksperimen ini berhasil, tetapi gaya kepemimpinan ala CEO Thaksin ini diakui sedikit banyak berhasil menekan red tape di birokrasi.

Pegawai negeri di beberapa lembaga pemerintah, terutama di keuangan dan perdagangan, seperti Bank of Thailand dan Board of Investment, terkenal sangat profesional. Tetapi, sebaliknya di lembaga-lembaga atau departemen-departemen lain, mereka terkenal dengan reputasinya yang sangat korup, birokratis, dan suka memanfaatkan kekuasaan.

Salah satu proyek percontohan Thaksin adalah mengubah sejumlah gubernur di daerah menjadi semacam CEO, yang berarti memberi mereka wewenang yang sebelumnya tidak pernah mereka miliki. Hal ini sempat membawa kekacauan di birokrasi karena para gubernur itu ditunjuk oleh pemerintah, tetapi mereka harus mempertanggungjawabkan kinerjanya ke Thaksin.

Sebagai CEO, menurut lembaga konsultan yang berbasis di Hongkong, Political Economic Risk Consultancy (PERC), para gubernur ini dimungkinkan membuat aturan-aturan baru, yang tidak jarang membuat murka banyak pejabat lain yang ada di bawahnya. Perubahan-perubahan ini dilakukan nyaris tanpa keterbukaan sehingga banyak yang gagap.

Di beberapa provinsi, sistem bahkan menjadi macet karenanya. Beberapa pejabat juga mencemaskan mereka ikut terseret melakukan hal-hal meragukan yang diperintahkan para CEO-gubernur, yang sebenarnya melanggar hukum itu.

Thaksin sendiri, menurut PERC, sering menunjukkan sikap otoriter. Sikapnya yang tidak mentolerir perbedaan pendapat juga membuat tidak nyaman bawahannya dan menghalangi para pegawai menunjukkan kinerja terbaik mereka. Keinginan menyenangkan atasan kadang kala membuat para bawahannya-terutama mereka yang banyak berhubungan dengan kalangan pengusaha asing-bersikap kaku dan memainkan peran menunda-nunda dalam bersikap agar posisinya aman.

Selain apa yang disebut Thaksinomic, keberhasilan pemerintahan Thaksin juga tidak terlepas dari birokrasi di Thailand yang independen, tidak bisa diintervensi oleh partai politik atau politisi. Kesinambungan kelembagaan menjadi dasar penting kekuatan ekonomi Thailand yang politiknya sering diwarnai kudeta militer dan konflik antarpartai.

Sistem multipartai yang dianut Thailand dan pemerintahan koalisi yang dihasilkannya memang membuat suksesi terlalu sering terjadi dalam jajaran kabinet dan pemerintahan. Untungnya, meskipun beda faksi atau partai, militer atau sipil, pemerintahan baru umumnya tidak jauh berbeda dalam hal ideologi dan faham kebijakan makroekonomi dari pemerintahan yang digantikannya. Sehingga, kesinambungan kebijakan dari waktu ke waktu tetap terjaga.

Pada masa-masa instabilitas politik, birokrasi di Thailand terbukti bisa memainkan peran sebagai faktor penstabil karena tetap mampu menjalankan roda pemerintahan secara normal, meskipun negara dalam krisis politik karena para politikus dan para jenderal saling gontok-gontokan. Tetapi sebaliknya, pada kondisi normal pegawai negeri dinilai sebagai faktor penghambat karena terlalu lamban dan konservatif.

Namun, ini bukan hal yang aneh. Di kebanyakan negara Asia lain karakteristik birokrasi yang ada juga seperti itu. Yang membedakan pegawai negeri di Thailand dengan di negara-negara lain adalah pegawai negeri di Thailand boleh merangkap sebagai politikus dan pengusaha sehingga memunculkan banyak konflik kepentingan. Termasuk di sini adalah Thaksin sendiri, kendati ia kini telah menyerahkan kepemimpinan Shin Corp kepada anaknya.

Oleh sejumlah media massa terkemuka setempat, Thaksin dikritik karena KKN-nya, tetapi tidak sedikit kalangan lain menilai ia berhasil dalam membawa kemajuan pada perekonomian Thailand.

Dari indeks persepsi korupsi yang disusun Transparency International tahun 2004, Thailand masih berada di urutan 66, di bawah Malaysia (39), Singapura (5), Hongkong (16), dan Taiwan (35), tetapi masih lebih bagus dibandingkan beberapa negara Asia lain seperti China (71), India (91), Filipina (104), Vietnam (106), Indonesia (137), dan Myanmar (143). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, korupsi di Thailand dinilai juga turun.

Berdasarkan laporan yang dibuat World Bank Group, Doing Business in 2005 Removing Obstacles to Growth, Thailand bahkan disebut merupakan salah satu tempat paling mudah di dunia untuk melakukan bisnis. Negara ini masuk 20 teratas dari 145 negara dalam hal kemudahan untuk berbisnis.

Urutan selengkapnya adalah Selandia Baru, AS, Singapura, Hongkong, Australia, Norwegia, Inggris, Kanada, Swedia, Jepang, Swiss, Denmark, Belanda, Finlandia, Irlandia, Belgia, Lituania, Slowakia, Bostwana, dan Thailand. Malaysia membayangi beberapa nomor di belakang Thailand.

Kemudahan dalam melakukan usaha itu diukur dari tujuh kriteria yang mencerminkan indikator iklim bisnis. Yakni, kemudahan mendirikan usaha, kemudahan dalam menyewa dan memecat pekerja, penegakan kontrak, kemudahan dalam memperoleh kredit, kemudahan untuk menutup usaha, kemudahan dalam registrasi hak kepemilikan (property right), serta perlindungan investor.

Dari laporan tersebut diketahui, negara-negara di Asia Timur mengenakan biaya paling tinggi dibandingkan negara-negara lain dalam hal penegakan kontrak, yakni rata-rata 45 persen dari pendapatan per kapita negara itu. Demikian juga pesangon atau biaya lain yang harus dibayarkan oleh pengusaha jika mereka ingin memberhentikan (pemutusan hubungan kerja/PHK) pekerjanya. Untuk PHK seorang pekerja, rata-rata biaya yang harus dikeluarkan pengusaha sekitar 79 minggu gaji pekerja bersangkutan.

Untuk mendirikan usaha di negara-negara berkembang, biaya administrasi yang harus dibayar tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan di negara maju. Jumlah prosedur birokrasi yang harus dilewati dua kali lebih banyak. Di negara-negara maju, untuk mengurus perizinan usaha rata-rata hanya perlu melewati enam prosedur administratif dengan waktu rata-rata 27 hari dan biaya sekitar 8 persen dari pendapatan per kapita. Sementara, di negara-negara Asia Timur rata-rata harus melewati sembilan prosedur dengan waktu rata-rata 61 hari dan biaya 60 persen dari pendapatan per kapita.

Dari semua negara di Asia Timur itu yang terburuk adalah Laos (198 hari), disusul Indonesia (151 hari), Kamboja (94 hari), dan Vietnam (78 hari). Bandingkan dengan Thailand yang hanya 33 hari. Prosedur yang harus dilewati di Thailand juga hanya delapan prosedur, sementara di Indonesia 12.

Ratusan ekspatriat yang disurvei PERC menyatakan birokrasi di Thailand masih lebih baik dibandingkan dengan Vietnam, China, Indonesia, India, dan Filipina. Dari sisi efisiensi birokrasi, Thailand juga lebih baik dibandingkan Vietnam dan India. Satu hal yang positif dalam sistem politik di Thailand, siapa pun pemerintahannya, apakah itu militer atau sipil, secara konsisten mereka mendukung pertumbuhan sektor swasta. Sektor swasta dibiarkan tumbuh secara alamiah sejalan dengan perjalanan sejarah bangsa Thailand.

Menurut ekonom senior Bangkok Bank, Nimit Nontapunthawat, adanya keseimbangan kekuatan antara kerajaan, birokrasi, politisi, militer, dan sektor swasta membuat Thailand benar-benar menjadi sistem pluralistis sejati. Tidak ada dominasi klik tertentu, keluarga tertentu, atau kelompok elite tertentu.

Hal senada diungkapkan Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, kunci keberhasilan ekonomi Thailand terletak pada sektor swastanya yang dinamis, birokrasi yang sangat probisnis, dan kebijakan makroekonomi yang juga relatif kondusif. Thailand, menurut Bank Dunia, adalah contoh terbaik dari kebijakan orientasi keluar (outward orientation), sikap terbuka terhadap investasi asing dan filosofi ramah pasar yang didukung manajemen makroekonomi yang konservatif dan kebijakan utang yang hati-hati.

Kebijakan yang probisnis dan perlindungan langsung terhadap pelaku usaha dalam negeri selama periode 1960-an hingga 1980-an menjadi landasan terjadinya apa yang disebut keajaiban ekonomi Thailand pada akhir 1980-an hingga sebelum krisis finansial tahun 1997. Pertumbuhan ekspor yang mencapai dua digit per tahun antara 1985-1995, yang dibarengi konsumsi domestik yang kuat sebagai lokomotif, menjadikan Thailand perekonomian dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama kurun tersebut.

Sektor manufaktur Thailand merupakan yang terbesar di ASEAN, sektor swastanya juga paling terdiversifikasi dan paling memiliki jiwa entrepreneurial.

Kesimpulan :

Jadi berdasarkan artikel dan beberapa data yang didapat, dapat diambil kesimpulan, tentang investasi di Thailand selama pemerintahan Thaksin yang juga manjadi pertimbangan investor dalam menanamkan investasinya adalah :

  1. Pemerintahan ini fokus ke kondisi ekonomi domestik melalui kebijakan-kebijakan yang propertumbuhan.
  2. memfokuskan pada pembangunan infrastuktur.
  3. Merombak birokrasi yang gemuk, memberikan pelayanan investasi dalam sistem satu rumah, yang langsung dibawahi oleh Perdana Mentri.
  4. Menerapkan hukum yang tegas bagi koruptor dengan UU Korupsi dengan hukuman yang berat.
  5. Kemudahan mendirikan usaha, kemudahan dalam menyewa dan memecat pekerja, penegakan kontrak, kemudahan dalam memperoleh kredit, kemudahan untuk menutup usaha, kemudahan dalam registrasi hak kepemilikan (property right), serta perlindungan investor.
  6. Keamanan cukup terkendali karena Thaksin cenderung otoriter dalam pemerintahannya, walaupun sempat terjadi kericuhan di daerah Thailand Selatan.
  7. Kebijakan makroekonomi, khususnya inflasi yang juga relatif kondusif dan sektor swastanya yang dinamis.
  8. Indeks saham mengalami peningkatan dan mata uang Bath cukup stabil.
  9. Ekspor meningkat signifikan, berpengaruh terhadap neraca perdagangan Thailand.
  10. Menerapkan insentif pajak Insentif yang diatur tersendiri dalam The Investment Promotion Act of 1997 yang telah diamandemen 2002, seperti menawarkan pembebasan pajak dan bea masuk selama delapan tahun untuk mesin-mesin mobil hemat BBM.
  11. Memangkas ekonomi biaya tinggi dan melarang pungutan liar.
  12. Paket kebijakan ketenagakerjaan yang memanjakan investor.
  13. Keadaan negara yang saling mendukung antara pemerintah, keluarga kerajaan, politikus dan masyarakatnya.

INVESTASI DI THAILAND PASCA KUDETA MILITER SEPTEMBER 2006.

Berikut artikel yang diambil dari waspada.co.id, 2007.

BERITA dari Thailand belakangan ini menunjukkan bahwa golongan intelektual di kota Bangkok dan kaum pengusaha yang tadinya mendukung tindakan kudeta junta militer terhadap pemerintahan PM Thaksin tanggal 19 September 2006 mulai kecewa dengan pemerintah PM Jenderal Surayut Chulanont, seorang Muslim, yang diangkat oleh junta. Kekecewaan itu disebabkan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh junta tidak memberi banyak peluang kepada para pengusaha.

William Pesek mulai mengemukakan nasionalisme tampaknya tidak akan punya tempat dalam abad globalisasi sekarang. Pergerakan bebas barang-barang, modal dan manusia dimaksudkan untuk membuat tapal batas nasional sebagai hal yang aneh. Dan kendati begitu, atau paling tidak versi ekonomi dari nasionalisme terbukti merupakan sebuah kekuatan yang diperhitungkan pada hari-hari awal abad ini. Contoh-contoh belum lama berselang dari kecenderungan itu berlangsung di Rusia, Venezuela dan bahkan Thailand.

Kenapa dibilang “bahkan” ? Karena ekonomi Thailand adalah ekenomi Asia ke-9 yang terbesar dan selama bertahun-tahun adalah kesayangan globalisasi. Bahkan setelah masa gelap krisis ekonomi Asia satu dasawarna yang lalu, Thailand membuka ekonominya selebar mungkin terhadap para eksekutif dan investor asing sebagaimana dilakukannya terhadap kaum turis. Ada alasan lain bahwa berbaliknya Thailand secara nasionalis itu mentercengangkan ialah Thai tidak punya minyak. Dapatkah Thai betul-betul bersikap persetan terhadap globalisasi ? Adapun yang aneh mengenai kontrol militer terhadap Thailand sejak PM Thaksin digulingkan dalam kudeta bulan September yang lalu ialah merek atau corak nasionalisme ekonomi yang rupanya telah diterima. Biasanya nasionalisme adalah mengenai menolong pendudukmu atau menyalahkan si kaya atas nasib si miskin. Dalam kasus Thailand, usaha-usaha junta yang memerintah sekarang mungkin merugikan atau menyakiti semua warga Thai.

Para pemimpin Thai baru “lebih bagus menjadi prajurit ketimbang memerintah negeri” kata Song Seng Won, ekonom regional dari CIMB-GK Securities di Singapura dalam mengomentari rencana pemerintah Thai dalam membatasi investasi asing. “Saat ini hati kaum militer itu berada di pihak unsur-unsur nasionalis dan investasi asing langsung di korbankan”. Thitinan Pongsudhirak, ilmuan politik dari Chulalangkorn University, Bangkok berkata “Tukang-tukang kedeta kehilangan arah dan jalan. Mereka mencoba menaruh pengaman-pengaman terhadap penjajahan ekonomi, setelah pendulum bergerak sangat jauh dibawah pemerintah PM Thaksin. Sebegitu jauh, junta tidak mengerjakannya sangat bagus”.

Soalnya ialah bahwa negara-negara seperti Rusia dan Venuzuela bisa menggunakan pendapatan minyaknya yang luas untuk menangkal kemerosotan dalam investasi asing langsung, perdagangan atau gross demostic product (GDP). Jika anda berada di Thailand dan ekspor-ekspor besar anda ialah produk-produk pertanian, ikan dan barang-barang manufaktur padat karya, maka berpaling menjauh dari ekonomi global bukanlah sebuah opsi atau pilihan. Mengubah keadaan akan lebih merugikan daripada berbuat baik bagi bangsa yang berjumlah 64 juta jiwa ini. Seraya terdapat beberapa kekacauan mengenai apa yang tengah terjadi, junta bertujuan menutup lobang-lobang guna menjamin taruhan para investor internasional dalam perusahaan-perusahaan yang diperdagangkan secara publik ditutupi pada kurang dari 50 persen. Para investor juga dihantui oleh gerak untuk mengubah aturan-aturan investasi dan membatasi spekulasi mata uang baht.

Beberapa dari langkah ini kini sedang diturunkan kembali, atau begitu tampaknya. Keadaan berubah dengan cepat sehingga orang-orang bisnis tidak punya pilihan selain mengikuti berita-berita media dan mengharapkan hal yang terbaik. Pemerintah memperkirakan sebanyak 1337 perusahaan akan terkena oleh aturan-aturan pemilikan yang diperketat. Hal itu akan mengembuskan hawa dingin di kalangan iklim bisnis Thai.

Alasan nyata bagi mengawasi keras orang-orang asing berkaitan dengan kisah Shin Corporation. Tahun yang lalu Temasek dari Singapura kembali kontrol mayoritas atas perusahaan Shin dari keluarga Thaksin yang tidak membayar pajak atas suatu transaksi yang memicu penggulingan PM Thaksin. Para pengamat memperkirakan bahwa perubahan baru-baru ini dalam aturan-aturan investasi asing Thai dimaksudkan untuk mengurangi saham Temasek dan menghentikan sembarang transaksi modal Shin di masa mendatang.

William Pesek dapat bersimpati dengan harapan junta untuk menerbitkan sedikit “kebahagiaan umum nasional” atau gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi seharusnya membuat tiap orang bergembira tanpa membinasakan jatidiri budaya. Itu adalah sebuah tujuan terpuji, walaupun sudah terlalu kasip untuk mengubah haluan secara drastis. Berbuat demikian mengandung risiko menurunkan pertumbuhan dan menimbulkan sakit lebih banyak warga Thai ketimbang dibantu oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pemimpin baru Thai begitu kurang perbuatannya sehingga mereka membangkitkan nostalgia bagi masa Thaksin. Kepemimpinan militer Thai yang goyah itu sedang merusak investasi, bisnis dan kepercayaan konsumen. Beberapa orang mungkin menamakan pendekatan junta militer itu nasionalisme ekonomi. Lukisan yang lebih akurat ialah menembak kaki sendiri bagi ekonomi yang paling menjanjikan di Asia.

Berikut artikel yang diambil dari Radio Singapore Internasional, 2007.

Pemerintah Thailand membatasi kepemilikan saham asing di perusahaan lokal, tidak lebih dari 50 persen, termasuk juga hak voting di perusahaan itu.
Menteri Keuangan Thailand Pridiyathorn Devakula mengatakan, investor asing yang memiliki total kepemilikan saham lebih dari 50 persen di sebuah perusahaan, harus melepas saham mereka dalam waktu satu tahun. Demikian pula dengan hak voting yang dimiliki investor asing lebih dari 50 persen, harus dikurangi dalam jangka waktu dua tahun.

Meski pun belum jelas kapan peraturan baru ini akan diterapkan, namun tetap saja banyak pihak mengatakan perubahan aturan ini akan berdampak besar pada perekonomian Thailand. Tan Kim Eng, Associate Director Lembaga Pemeringkat Standard & Poor kepada 938 LIVE mengatakan, hal ini akan memberikan sinyal negative kepada investor asing.
Paling tidak, mereka yang tadinya berniat untuk menanamkan modalnya di perusahaan Thailand, -dengan cara yang berdasarkan peraturan sekarang menjadi illegal, akan menarik diri. Sedangkan yang lain akan merestrukturisasi kepemilikan sahamnya dan tetap menjalankan bisnisnya disana. Dan jika masuknya modal asing dihentikan, maka pertumbuhan kegiatan ekonomi secara keseluruhan pasti akan berkurang.
Sebuah data menyebutkan, investor di sektor jasa, seperti perusahaan Inggris Tesco yang bergerak di bidang retail makanan dan juga perusahaan telekomunikasi Noerwegia, Telenor, termasuk sejumlah perusahaan di sektor agrikultur dan media, termasuk diantara yang paling terkena dampaknya.
Itulah sebabnya Tan Kim Eng, Associate Director Lembaga Pemeringkat Standard & Poor tidak yakin, pemerintah Thailand akan benar-benar menerapkan perubahan kebijakan itu, karena dampaknya secara ekonomi akan lebih besar.
Peraturan ini akan berdampak besar pada investor asing, karena mereka memiliki mayoritas saham di banyak sektor bisnis di Thailand. Dan saya rasa mereka kuatir perusahaannya akan dikategorikan illegal. Bisnis retail juga akan terimbas, karena peraturan ini akan memberikan kesan bahwa apa yang dilakukan para investor itu akan diawasi dengan lebih ketat daripada sebelumnya.
Banyak pihak menyebut, munculnya revisi ini tidak pada saat yang tepat. Di waktu ini, Thailand sedang dibelit sejumlah masalah dalam negeri. Tentunya anda masih ingat, kebijakan bank sentral Thailand untuk melindungi Baht bulan lalu, yang menyebabkan jatuhnya index harga saham Thailand ke level paling rendah. Meskipun akhirnya peraturan ini ditarik kembali, tapi sedikit banyak hal ini berpengaruh kepada kepercayaan investor terhadap ketegasan pemerintahan sementara Thailand saat ini.
Kedua, situasi politik yang masih tidak menentu, diperparah dengan kondisi keamanan akibat serangan bom pada malam tahun baru kemarin juga menimbulkan rasa pesimis, apakah memang revisi peraturan ini dikeluarkan di saat yang tepat. Nattakorn Devakula, analis berita politik di Stasiun Berita Channel Eleven Thailand, memberikan pandangannya.
Waktu yang lebih tepat sebenarnya beberapa tahun yang lalu, karena Peraturan Bisnis Asing itu sendiri memiliki kekurangan. Namun saat ini Thailand sedang dalam krisis politik dan orang mengatakan bahwa ini bukan saat yang tepat untuk merubahnya karena investor asing sudah mulai turun kepercayaannya terhadap Thailand. Sebenarnya tidak pernah akan ada waktu yang tepat, seharusnya perubahan ini dilakukan di awal.

Revisi kebijakan ini sendiri, menurut Nattakorn Devankula, memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk membereskan kondisi di bidang usaha, terutama tentang kepemilikan perusahaan, yang saat ini tidak jelas. Banyak perusahaan Thailand yang didaftarkan dengan nama kepemilikan orang Thailand, tetapi saham mayoritasnya dikuasai oleh pihak asing. Begitu pula dengan saham, yang banyak dimiliki oleh warga Thailand tapi mereka tidak memiliki hak voting di perusahaan. Jadi sebenarnya tujuan revisi ini adalah untuk memastikan bahwa sebuah perusahaan Thailand, memang dikelola oleh orang Thailand, dan perusahaan asing –dengan lebih dari 50 persen saham, yang memang diperbolehkan-adalah perusahaan asing.
Menurut Nattakorn lagi, Thailand tidak bisa secara eksplisit meniru model ekonomi yang dianut oleh Singapura Hongkong dan Taiwan, yang membuka selebar-lebarnya pintu ekonomi mereka bagi investasi asing.
Nattakorn Devankula juga berkomentar, “Saya setuju dengan skeptimisme dunia internasional tentang hal ini. Maksud saya, perubahan ini akan membuat enggan para investor asing untuk menanamkan modalnya, karena mereka tidak lagi memiliki kontrol yang besar di perusahaan tersebut. Dan saya setuju dengan model ekonomi yang diterapkan di Singapura, Hong Kong dan Taiwan, dimana mereka membuka seluas2nya pasar untuk investor asing, bahkan dengan kepemilikian saham diatas 50 persen. Dan jelas, Thailand harus mengikuti model ini. Namun, jika kita lihat faktor budaya dan batasan sosial ekonomi di negara ini, ada sejumlah hal yang dilakukan Singapura, Hongkong dan Taiwan, yang tidak bisa diterapkan disini.

Mengenai kekuatiran bahwa revisi kebijakan ini akan berdampak pada keengganan investor untuk menanamkan modalnya di Thailand, Nattakorn tidak terlalu kuatir.

Thailand tidak pernah secara tegas dan strick menerapkan peraturan. Jadi meskipun ada ribuan atau pun dua perusahaan yang melanggar aturan ini, tampaknya mereka tidak akan ditindak dan diberikan sanksi, karena kita tidak punya cukup tenaga di bidang hukum untuk mengejar perusahan2 tersebut.
Selain, itu –tambah Nattakorn Devankula- peraturan baru ini juga membuat pengecualian di sejumlah sektor. Industri retail, bank, brokers, bahkan perusahaan manufaktur, tidak akan terimbas oleh revisi kebijakan ini.
Hal ini pun sesuai dengan yang dikatakan oleh Presiden Pasar Saham Thailand Patareeya Benjapolchai, bahwa maksimum hanya 15 perusahaan saja yang terkena dampak dari kebijakan baru tersebut.
Tan Kim Eng, Associate Director Lembaga Pemeringkat Standard & Poor.
Alasan lainnya, perusahaan yang masuk melalui Badan Investasi Thailand, juga tidak termasuk ke dalam kelompok yang terkena dampak peraturan ini. Kembali Nattakorn Devankula.

Ketiga, perusahaan yang masuk melalui Badan Investasi Thailand, harus membayar sejumlah dana sebelum menanamkan modalnya disini. Mereka pun tidak terimbas oleh peraturan ini. Dan yang paling utama, kita memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas. Jika bisnis tersebut didasarkan atas FTA tersebut, maka perusahaan itu juga tidak terkena. Thailand selalu memiliki masalah dalam penegakan hukum. Jadi setelah beberapa saat semua masalah ini akan dilupakan dan tidak menjadi perhatian lagi. Apakah ini sesuatu yang baik atau buruk, tapi itulah Thailand.
Nattakorn Devakula, analis berita politik di Stasiun Berita Channel Eleven Thailand, yang diwawancari rekan Mubin Sa’dat dari RSI siaran bahasa Inggris.

Jadi, kapan waktu persis revisi kebijakan baru ini memang belum ditentukan secara resmi oleh pemerintah. Pemerintah Thailand juga rasanya tidak berniat untuk mengambil resiko besar dengan terburu-buru menerapkan kebijakan yang memiliki resiko besar ini. Namun yang harus diingat, sektor bisnis adalah sektor yang sensitive, bahkan kabar burung yang masih belum jelas kebenarannya pun berpotensi besar untuk membuat guncangan.

Kesimpulan :

Jadi berdasarkan artikel dan beberapa data yang didapat, dapat diambil kesimpulan, tentang investasi di Thailand pasca kudeta militer yang juga manjadi pertimbangan investor dalam menanamkan investasinya adalah :

  1. Pada umumnya kebijakan yang diambil masih mengikuti kebijakan dalam masa pemerintahaan Thaksin.
  2. Stabilitas politik yang masih belum menentu.
  3. Keamanan masih belum terjamin seperti adanya demonstrasi dan serangan bom.
  4. Krisis kepercayaan terhadap pemerintahan baru khususnya akhir-akhir ini setelah keadaan ekonomi menmuruk.
  5. Adanya diskriminasi dan kecenderungan membatasi kekuasaan asing pada perusahaan-perusahaan di Thailand.
  6. Banyaknya kebijakan yang dianggap tidak memberi peluang kepada pengusaha.
  7. Mencoba membangun kembali nasionalisme.
  8. Indeks saham tidak stabil, bahkan sempat merosot tajam, begitu juga dengan nilai tukar mata uang Bath.
  9. Inflasi dan kenaikan harga barang mulai meningkat disebabkan naiknya harga bahan bakar minyak di Thailand.
  10. Kontrol yang berlebihan dari pemerintah membuat sektor riil tersendat-sendat.

Leave a comment